Petisi Soetardjo, Kemerdekaan Indonesia, dan Eksistensi Desa: Mengenang Sosok dan Kiprah Soetardjo Kartohadikoesoemo

Opini68 Dilihat

 

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/2f/Gubernur_Jawa_Barat_Sutardjo_Kertohadikusumo.jpg

Dr. Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Soetardjo Kartohadikoesoemo mungkin tidak pernah membayangkan bahwa tulisannya akan menjadi landasan ontologis sekaligus rujukan epistemologis tentang eksistensi desa dan pedesaan di Indonesia. Makalahnya yang berjudul Desa/La Desa Indonesienne, diterbitkan dalam jurnal internasional Civilisations milik Institut de Sociologie de l’Université de Bruxelles, Belgia tahun 1954, menjadi ruh yang mengalir dalam Pasal 18 UUD 1945 versi asli, kemudian bermetamorfosis ke dalam Pasal 18B ayat (2) hasil amandemen, serta menjadi konsideran-konsideran Undang-Undang Desa dari 2014 hingga perubahan terakhir tahun 2024.

Kendati makalah itu  merujuk  karya-karya peneliti Belanda seperti Van Vollenhoven, Liefrinck, Lekkerkerker, dan Brandes, namun ia melampaui sekadar tinjauan literatur. Karya itu menempatkan Soetardjo pada tiga titik persilangan sejarah sekaligus: sebagai kontinuitas dari Petisi Soetardjo 1936 yang menjadi persemaian bibit kemerdekaan, sebagai peletak fondasi ontologis-epistemologis desa sebagai institusi asli Indonesia yang hidup hingga kini, dan sebagai teladan bahwa salah satu metode perjuangan paling ampuh adalah suatu siasat yang diramu dari kajian gagasan, strategi praksis, dan kecakapan diplomasi.

Soetardjo, yang dilahirkan di Desa Kunduran, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora, pada tanggal 22 Oktober 1892, adalah pejuang yang bersenjatakan naluri anti-penjajahan dan ketajaman pena. Ia menunjukkan bahwa Republik Indonesia memang lahir dari gelora gagasan dan spirit kemerdekaan yang tak pernah meninggalkan pijakan lokalitas dan sejarahnya.

Petisi Soetardjo

Tahun 1936, Soetardjo, seorang priyayi Blora berdiri di Volksraad (parlemen bentukan pemerintah kolonial Hindia belanda) dan mengajukan petisi yang membuat pemerintah kolonial kehilangan kata-kata. Isinya sederhana: meminta diadakannya konferensi agar Hindia Belanda diberi otonomi bertahap dalam sepuluh tahun, berstatus dominion.  Hasil Voting: 26 mendukung, 20 menolak. Kemenangan mayoritas, meski tipis, tapi cukup membuat Batavia gemetar.

Rakyat menyambutnya bagai obor di malam gelap. Surat kabar berlomba memuji. Diskusi meledak di kota-kota besar. Bahkan kalangan Indo-Eropa ikut mendukung. Dua tahun kemudian, Ratu Wilhelmina menolak dengan alasan “bangsa Indonesia belum dewasa”. Penolakan itu justru menjadi pemantik: lahir Gabungan Politik Indonesia (GAPI), lahir tuntutan “Indonesia Berparlemen”, lahir Komisi Visman merespon tuntutan GAPI, kemudian berujung pada peritiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 yang tak lagi bisa dibendung.

Makalah Desa 1954: Ontologi yang Masih Hidup di Balai Desa

Sembilan tahun setelah proklamasi, Soetardjo –  menjabat Gubernur Jawa Barat Pertama di Tahun 1945 – menulis ulang apa itu “desa”. Dalam makalah Desa/La Desa Indonesienne, Ia menegaskan bahwa desa bukanlah konstruksi entitas yang berasal dari Hindu, bukan juga ciptaan kolonial, melainkan institusi asli Nusantara yang sudah ada di Jawa, Bali, Minangkabau, Minahasa, Ternate, bahkan Filipina, jauh sebelum agama dan budaya India datang. Desa adalah komunitas hukum otonom penuh yang diikat adat yang “hampir statis”, tempat lebih dari 90% rakyat Indonesia masih menjalani falsafah yang kemudian kita namakan Pancasila: manusia dengan alam, manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan.

Makalah itulah yang kemudian menjadi napas Pasal 18 UUD 1945, kemudian Pasal 18B ayat (2) yang melindungi hak tradisional masyarakat hukum adat serta konsideran-konsideran Undang-Undang Desa hingga perubahannya di Tahun 2024. Ia juga menjadi rujukan ketika Mahkamah Konstitusi harus menimbang antara pemilu langsung dan adat marga, antara proyek nasional dan hak ulayat.

Warisan yang Masih Berbisik di Usia Republik ke-80

Hari ini, ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah berusia delapan puluh tahun, dan UU Desa telah berjalan lebih sepuluh tahun, Soetardjo masih berbicara lewat kalimat sederhana yang tak pernah usang: Kemerdekaan tidak pernah selesai di Jakarta, ia baru dimulai di Balai Desa. Gagasan yang matang dan taktis sering kali lebih kuat daripada teriakan massa. Negara yang lupa desa akan kehilangan napasnya.

Soetardjo Kartohadikoesoemo wafat pada 20 Desember 1976, 49 tahun lampau.  Namun, pena dan petisinya masih hidup, di setiap penyusunan RKPDes dan RPJMDes, di setiap rapat-rapat BPD, di setiap kesibukan para Perangkat Desa, bahkan di setiap persidangan MK yang membahas materi terkait Desa. Bahkan, di saat kita tengah menyaksikan desa-desa di sejumlah wilayah Sumatera yang diterjang musibah banjir bandang dan menimbulkan korban jiwa, harta, dan asa.

Dalam keterbatasan dibawah kolonialisme, Soetardjo dengan Petisi-nya mengguncang Istana Belanda dan Batavia. Dalam perenungannya, Ia  menghunuskan pena dan gagasannya yang hingga kini menghias susunan pustaka di Belgia.  Ia bukan pahlawan yang berteriak paling keras, tapi ia adalah pahlawan yang berpikir melompat jauh.

Di usia Republik yang kedelapan puluh ini, kita masih mendengar ‘suara’nya. ‘Suara’ yang terdengar hingga Istana Noordeinde dan Istana Paleis Het Loo pada tahun 1936, ‘suara’ yang tertulis dan terarsip sejak Tahun 1954 di sudut perpustakaan di Belgia sana, dan ‘suara’ yang berbisik dan –  semoga – masih terdengar di telinga dan sanubari para pejuang dan pegiat Desa di seluruh Indonesia hari ini.

Rangga Deristaufani

(Pembelajar Desa dan Ketahanan Nasional)

Direktur Kajian Strategis dan Pengembangan Program

Dewan Pengurus Pusat Desa Bersatu

 

Referensi

Bakarbessy, A. D. (2018). Interaksi antara negara dan desa adat dalam konstruksi negara kesatuan Republik Indonesia. Sasi, 24(1), 59–72. https://fhukum.unpatti.ac.id/jurnal/sasi/article/download/119

Dermawan, A. R. G., & Hakim, M. L. (2023). Petisi Soetardjo: Isi beserta reaksi dua pihak (rakyat dan pemerintah Belanda). Jurnal Ilmiah Islam Cinta Nusantara. https://jicnusantara.com/index.php/jiic/article/view/2798/2976

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2023). Naskah akademik RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. https://berkas.dpr.go.id/akd/dokumen/BALEG-RJ-20230717-024136-4371.pdf

Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud. (1985). Dr. Sutardjo Kartohadikusumo: Hasil Karya dan Pengabdiannya. https://repositori.kemendikdasmen.go.id/23494/1/DR.%20SUTARJO%20KARTOHADIKUSUMO%20HASIL%20KARYA%20DAN%20PENGABDIANNYA.pdf

Forest Watch Indonesia. (2020). Memahami hak-hak tradisional di Pasal 18B ayat 2 UUD 1945. https://fwi.or.id/memahami-hak-hak-tradisional-di-pasal-18b-ayat2-uud-1945/

Kartohadikoesoemo, S. (1954). Desa / La Desa Indonesienne. Civilisations, 4(1), 67–73. https://www.jstor.org/stable/41377597

Pribadi, I. T. (2019). Soetardjo Kartohadikoesoemo, pengusul petisi otonomi Hindia Belanda. Tirto.id. https://tirto.id/soetardjo-kartohadikoesoemo-pengusul-petisi-otonomi-hindia-belanda-cM9H

Pranata, G. (2023). Cita menuju merdeka sudah tergambar lewat Petisi Soetardjo sejak 1936. National Geographic Indonesia. https://nationalgeographic.grid.id/read/134162286/

Sutardjo Petition. (2025). Encyclopædia Britannica. https://www.britannica.com/event/Sutardjo-Petition

Zalsabillah, A., Dahlan, D., Anugrah, A., & Taqyuddin, A. (2023). Hak masyarakat adat. Media Hukum Indonesia. https://ojs.daarulhuda.or.id/index.php/MHI/article/view/1058